Cari Blog Ini

Rabu, 24 September 2014

KONSELOR PEDULI SISWA ( lirik lagu )


KONSELOR PEDULI SISWA

Ayo kawan konselor professional
Kembangkan potensi siswa
Tempa wawasan dan ketrampilan
Konselor peduli siswa

       Mantap imtaq iptek dan seninya
       Pancasila seutuhnya
       Siswa soleh cerdas dan trampil
Konselor peduli siswa

Ayo kawan konselor professional
Insan karya yang terampil
Galang tekad satukan langkah
MGBK wadah kita

       Mantap layanan jaya berkarya
       Demi amanat bangsa
       Karya nyata abdi Negara
       Konselor peduli siswa                2x

Rabu, 04 September 2013

GAMES untuk menghangatkan kerjasama dan komunikasi

Game untuk Menghangatkan, Kerjasama dan Komunikasi


Strategi ini merupakan icebreaker yang dibuat cepat yang membuat para peserta latihan bergerak tertawa. Strategi tersebut merupakan cara membangun team yang baik dan menjadikan para peserta lebih mengenal satu sama lain.
Langkah-langkah :
  • Aturlah kursi –kursi ke dalam sebuah lingkaran. Mintalah peserta untuk duduk di kursi yang telah disediakan.
  • Jelaskan kepada peserta aturan permainan, untuk putaran pertama pemandu akan bertindak sebagai angin.
  • Pemandu sebagai angin akan mengatakan ‘ angin berhembus kepada yang memakai – misal : kacamata’ (apabila ada beberapa peserta memakai kacamata).
  • Peserta yang memakai kacamata harus berpindah tempat duduk, pemadu sebagai angin ikut berebut kursi.
  • Akan ada satu orang peserta yang tadi berebut kursi, tidak kebagian tempat duduk. Orang inilah yang menggantikan pemandu sebagai angin.
  • Lakukan putaran kedua, dan seterusnya. Setiap putaran yang bertindak sebagai angin harus mengatakan ‘angin berhembus kepada yang …………. (sesuai dengan karakteristik peserta, misal : baju biru, sepatu hitam, dsb)
============================
2. Lempar spidol
Permainan ini bertujuan untuk menghangatkan suasana dan menghilangkan kekakuan antar peserta dan pemandu dan antar peserta sendiri . Pelajaran yang bisa dipetik dari permainan ini adalah perlunya sikap hati–hati dan cepat tanggap.
Langkah–langkah :
  • Mintalah semua peserta berdiri bebas di depan tempat duduk masing-masing.
  • Minta peserta bertepuk tangan ketika Anda melemparkan spidol ke udara, dan pada saat spidol Anda tangkap lagi dengan tangan, semua peserta serta merta diminta berhenti bertepuk tangan. Ulangi sampai beberapa kali.
  • Ulangi proses ke-2 dengan tambahan selain bertepuk tangan juga bersenandung. ( bergumam ) : “Mmmmm….!”.
  • Ulangi proses ke–3 ini beberapa kali, dan setiap kali semakin cepat gerakannya, kemudian akhiri dengan satu anti klimaks: spidol Anda tidak dilambungkan, tapi hanya melambungkan tangan seperti akan melambungkannya ke atas (gerak tipu yang cepat !). amati : apakah peserta masih bertepuk tangan dan bergumam atau tidak ?
  • Mintalah tanggapan dan kesan, lalu diskusikan dan analisa bersama kemudian simpulkan.
============================
3. Sepatu Lapangan :
Permainan ini bermanfaat untuk mendorong proses kerjasama Tim, bahwa dalam sebuah Tim setiap orang akan belajar mendengar pendapat orang lain dan merekam masing-masing pendapat secara cermat dalam pikirannya, sebelum memutuskan pendapat apa yang terbaik menurut kelompok.
Langkah – langkah :
  • Bagilah peserta ke dalam kelompok – kelompok kecil ( 5 – 6 orang ), 1 orang akan menjadi pembicara kelompok.
  • Mintalah setiap kelompok untuk mendiskusikan tentang sepatu lapangan apa yang cocok untuk bekerja di ‘lapangan’ dan peralatan apa lagi yang dibutuhkan (waktunya sekitar 5 menit)
  • Mintalah pembicara kelompok untuk mengingat pendapat yang berbeda dan pendapat yang sama dari setiap orang di kelompoknya masing-masing.
  • Mintalah pembicara kelompok untuk menyampaikan hasil diskusi ini seklaigus memperkenalkan nama anggota kelompoknya dan apa pendapat orang – orang tersebut mengenai topik diskusi di atas.
  • Setelah semua kelompok selesai, kemudian diskusikan : Apakah pembicara telah menyampaikan pendapat semua anggota kelompoknya secara tepat ? Apa yang dikurangi? Apa yang ditambah ? Apa yang tidak tepat.
============================
4. Kompak
Permainan ini bermanfaat untuk menghangatkan suasana dan membentuk suasana kerja dalam Tim.
Langkah–langkah :
  • Jelaskan kepada peserta aturan permainan ini
  • Bagilah peserta ke dalam 5 – 6 kelompok, yang penting satu kelompok terdiri dari 6 orang.
  • Mintalah masing – masing kelompok untuk membuat lingkaran dan satu orang anggota dari masing-masing kelompok untuk berdiri di tengah – tengah kelompoknya.
  • Katakana bahwa permainan ini untuk mnguji kita , apakah di antara teman-teman dalam kelompok itu saling percaya kepada TIM KERJA KITA. Yang berdiri di tengah harus menutup matanya, dengan ditutup kain, kemudian menjatuhkan diri secara bebas kea rah mana saja.
  • Sementara itu teman-teman dalam kelompoknya melingkar dan harus bertanggungjawab atas keselamatan teman yang di tengah tadi, karena permainan ini bisa – bisa akan memakan korban, maka jika yang di tenagh menjatuhkan diri kepadanya dia harus siap dan bertanggungjawab untuk menahan dan melemparkannya kepada teman yang lain. Begitu seterusnya, dan minta siapa yang di tengah bisa bicara dengan cara bergiliran .
============================
5. Bercermin
Langkah–langkah :
  • Minta setiap peserta untuk berpasangan, 1 orang menjadi bayangan di cermin dan 1 orang menjadi seseorang yang sedang berdandan di depan cermin.
  • Bayangan harus mengikuti gerak – gerik orang yang berdandan.
  • Keduanya harus bekerja sama agar bisa bergerak secara kompak dengan kecepatan yang sama.
  • Minta peserta untuk mendiskusikan apa pesan dalam permainan ini.

Jumat, 25 Desember 2009


Sepuluh Tip Sukses Right Here, Right Now

Sepuluh tahun yang lalu, kalau saya ditanya apakah tip sukses saya,
mungkin saya tidak bisa menjawab. Sekarang, sukses bagi saya
bukanlah ketika buku saya menjadi best-seller atau ketika menerima
pujian untuk artikel ilmiah yang diterbitkan di jurnal terkemuka di
Inggris Raya. Sukses bukan pula ketika saya dan suami berhasil juga
membeli rumah di San Francisco Bay Area dengan keringat sendiri
setelah hampir sepuluh tahun merantau di Negeri Paman Sam.

Sukses bagi saya adalah mindset. Sukses adalah saya; saya adalah
sukses. Sukses bukan tujuan, bukan pula perjalanan. Success is about
being dan becoming.

Berani dan overconfident kedengarannya? Mungkin, yang jelas ribuan
bahkan jutaan manusia "sukses" di dunia alias manusia bermental
juara mempunyai mindset seperti ini.

Apakah Anda perlu menjadi juara tenis tingkat Wimbledon atau juara
golf profesional di PGA Pebble Beach untuk disebut "sukses"? Apakah
Anda perlu mengendarai Corvette dan Lexus SUV hybrid? Jelas tidak.
Seorang bermental juara alias bermindset "orang sukses" bisa jadi
hanyalah seorang salesman saja.

Ambillah contoh Bill Porter, seorang salesman door-to-door dari
Portland, Oregon yang terlahir dengan cerebral palsy. Ia berjalan
kaki setidaknya 10 mil perhari selama 40 tahun dengan tertatih-tatih
setiap hari tanpa mengeluh. Hebatnya, karena tubuhnya bagian kiri
tidak bekerja sebagaimana orang normal, ia sebenarnya sangat sulit
untuk berjalan tegak dan berbicara dengan jelas. (Baca
www.billporter.com, filem Door to Door dan buku berjudul Ten Things
I Learned from Bill Porter oleh Shelly Brady.) Dengan penghasilan
pas-pasan dari seorang salesman rumah ke rumah, jelas di mata orang
awam ia tidaklah termasuk kategori "sukses secara finansial."

Namun, bagi saya, Bill Porter adalah salah satu orang paling sukses
di dunia yang amat sangat saya kagumi. Salah satu cita-cita saya
adalah bertemu muka dengan beliau suatu hari.

Nah, lantas apa resep 10 tip sukses concoction ala Jennie?

Satu, bersyukurlah atas hari ini. "Just to be alive is a grand
thing," kata Agatha Christie, salah satu novelis detektif terkemuka.
Jauhkanlah perasaan depresi dan sedih tanpa juntrungan. Jalani
setiap hari dengan hati penuh syukur. Ingatlah akan Bill Porter.
Kalau dia bisa jadi seorang salesman berhasil, apapun yang Anda
inginkan sebenarnya pasti bisa tercapai.

Dua, belajarlah seakan-akan Anda akan hidup selamanya, hiduplah
seakan-akan Anda akan mati besok. Mohandas Gandhi pernah berkata
demikian, "Live as if you were to die tomorrow, learn as if you were
to live forever." Belajar terus, upgrade diri terus dengan berbagai
cara baik yang memerlukan effort maupun effortlessly.

Tiga, setiap ketrampilan pasti ada penggunanya. Ini saya dapat dari
salah satu sahabat saya seorang wanita blonda dari San Diego.
Sahabat saya Crystal ini pernah membesarkah hati saya, "There are
all kinds of writers, there are all kinds of readers." Ketika saya
down karena merasa incompetent bertarung dengan penulis-penulis
lokal di sini, Crystal mengingatkan bahwa setiap jenis penulis pasti
ada pembacanya (niche). Find your niche, so you find your place in
the world.

Empat, bukalah jalan sendiri, orisinil. Ralph Waldo Emerson once
said, "Do not go where the path may lead, go instead where there is
no path and leave a trail." Jangan latah mengikuti orang lain,
dengar kata hati dan ikutilah jalan yang belum kelihatan.

Lima, belajar mencintai apa yang Anda punyai, bukan berangan-angan
akan apa yang Anda tidak miliki. Use whatever you have at hand,
impian hanya akan menjadi nyata kalau Anda menggunakan instrumen
yang kasat mata saat ini juga.

Enam, lihat apa yang kelihatan dan lihat apa yang belum kelihatan.
Gunakan visi dan misi untuk mengenal apa yang Anda tuju. Seringkali,
apa yang belum kelihatan adalah blue print untuk sukses Anda. Begitu
kelihatan, ia akan menjadi semacam de ja vu.

Tujuh, telan kepahitan hidup dan bersiap-siaplah dalam menyongsong
hari baru. Setiap hari adalah hari baru. Bangunlah tiap pagi dengan
hati yang curious akan apa yang akan Anda alami hari itu. Be
excited, be courageous to start the day.

Delapan, semakin banyak Anda memberi, semakin banyak Anda akan
menerima. The more you give, the more you get in return. Dalam
marketing, ini mungkin disebut sebagai taktik public relations atau
publicity. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, ini juga berlaku
tanpa diselipi dengan iming-iming tertentu. Saya sendiri sudah
membuktikannya. Semakin banyak kita memberi (dalam arti luas, tidak
terbatas uang dan materi), semakin besar penghargaan dan berkat yang
kita terima.

Sembilan, jadilah mentor diri sendiri. What would Oprah do? Itu yang
saya pakai sebagai ukuran. Saya tidak memilih Nabi atau pembesar
negara, namun seorang wanita berkulit berwarna yang telah
membalikkan nasibnya sendiri menjadi salah satu orang berpengaruh di
dunia.

Sepuluh, saya eksis dengan maupun tanpa tubuh saya. Setidak-tidaknya
sekali sehari, saya mengingatkan diri sendiri bahwa hidup ini
bukanlah untuk selamanya. Maka berbuatlah terbaik pada saat ini
juga. Jangan tunggu-tunggu lagi. "Just do it," kata Cher di Farewell
Concertnya beberapa tahun yang lampau. I do my best every chance I
have. Berbuatlah terbaik di setiap kesempatan, karena itu mungkin
yang terakhir.

Ingatlah sukses bukanlah tujuan, bukan pula perjalanan. Sukses
adalah mindset. Bukan hanya cogito er go sum (saya berpikir maka
saya ada), namun sum ego prosperitas (sukses adalah saya).

Sumber: Sepuluh Tip Sukses Right Here, Right Now by Jennie S. Bev.
Jennie S. Bev is a prolific author and co-author of 17 books and
over 850 articles published in the United States, Canada, UK,
France, Germany, Singapore and Indonesia. She is based in scenic
Northern California where she resides with her husband.

Belanja di ''Toko Kebahagiaan''

Seorang muda yang selalu resah dan gelisah menemui seorang bijak dan
bertanya, ''Berapa lamakah waktu yang saya butuhkan untuk memperoleh
kebahagiaan?'' Orang bijak itu memandang si anak muda kemudian
menjawab, ''Kira-kira sepuluh tahun.''

Mendengar hal itu anak muda tadi terkejut, ''Begitu lama,?'' tanyanya
tak percaya.
''Tidak,'' kata si orang bijak, ''Saya keliru. Engkau membutuhkan 20
tahun.''
Anak muda itu bertambah bingung. ''Mengapa Guru lipatkan dua,?''
tanyanya keheranan. Orang bijak kemudian berkata, ''Coba pikirkan,
dalam hal ini mungkin engkau membutuhkan 30 tahun.''

Apa yang terlintas dalam pikiran Anda ketika membaca cerita di atas?
Tahukah Anda mengapa semakin banyak orang muda itu bertanya, semakin
lama pula waktu yang diperlukannya untuk mencapai kebahagiaan?

Lantas, bagaimana cara kita mendapatkan kebahagiaan? Sebagaimana yang
telah sering saya sampaikan dalam rubrik ini, kebahagiaan hanya akan
dicapai kalau kita mau melakukan pencarian ke dalam. Namun, itu semua
tidak dapat Anda peroleh dengan cuma-cuma. Anda harus mau membayar
harganya.

Agar lebih mudah saya akan menggunakan analogi sebuah toko. Nama toko
itu adalah ''Toko Kebahagiaan.'' Di sana tidak ada barang yang
bernama ''kebahagiaan'' karena ''kebahagiaan'' itu sendiri tidak
dijual. Namun, toko ini menjual semua barang yang merupakan unsur-
unsur pembangun kebahagiaan, antara lain: kesabaran, keikhlasan, rasa
syukur, kasih sayang, kejujuran, kepasrahan, dan rela memaafkan.
Inilah ''barang-barang'' yang Anda perlukan untuk mencapai
kebahagiaan.

Tetapi, berbeda dari toko biasa, toko ini tidak menjual produk jadi.
Yang dijual di sini adalah benih. Jadi, kalau Anda tertarik untuk
membeli ''kesabaran'' Anda hanya akan mendapatkan ''benih
kesabaran.'' Karena itu, segera setelah Anda pulang ke rumah Anda
harus berusaha keras untuk menumbuhkan benih tersebut sampai ia
menghasilkan buah kesabaran.

Setiap benih yang Anda beli di toko tersebut mengandung sejumlah
persoalan yang harus Anda pecahkan. Hanya bila Anda mampu memecahkan
persoalan tersebut, Anda akan menuai buahnya. Benih yang dijual di
toko itu juga bermacam-macam tingkatannya. ''kesabaran tingkat 1,''
misalnya, berarti menghadapi kemacetan lalu lintas, atau pengemudi
bus yang ugal-ugalan. ''Kesabaran tingkat 2'' berarti menghadapi
atasan yang sewenang-wenang, atau kawan yang suka
memfitnah. ''Kesabaran tingkat 3'', misalnya, adalah menghadapi anak
Anda yang terkena autisme.

Menu yang lain misalnya ''bersyukur.'' ''Bersyukur tingkat 1'' adalah
bersyukur di kala senang, sementara ''bersyukur tingkat 2'' adalah
bersyukur di kala susah. ''Kejujuran tingkat 1,'' misalnya, kejujuran
dalam kondisi biasa, sementara ''kejujuran tingkat 2'' adalah
kejujuran dalam kondisi terancam. Inilah sebagian produk yang dapat
dibeli di ''Toko Kebahagiaan''.

Setiap produk yang dijual di toko tersebut berbeda-beda harganya
sesuai dengan kualitas karakter yang ditimbulkannya. Yang termahal
ternyata adalah ''kesabaran'' karena kesabaran ini merupakan bahan
baku dari segala macam produk yang dijual di sana.

Seorang filsuf Thomas Paine pernah mengatakan, ''Apa yang kita
peroleh dengan terlalu mudah pasti kurang kita hargai. Hanya harga
yang mahallah yang memberi nilai kepada segalanya. Tuhan tahu
bagaimana memasang harga yang tepat pada barang-barangnya.''

Dengan cara pandang seperti ini kita akan menghadapi masalah secara
berbeda. Kita akan bersahabat dengan masalah. Kita pun akan menyambut
setiap masalah yang ada dengan penuh kegembiraan karena dalam setiap
masalah senantiasa terkandung ''obat dan vitamin'' yang sangat kita
butuhkan.

Dengan demikian Anda akan ''berterima kasih'' kepada orang-orang yang
telah menyusahkan Anda karena mereka memang ''diutus'' untuk membantu
Anda. Pengemudi yang ugal-ugalan, tetangga yang jahat, atasan yang
sewenang-wenang adalah peluang untuk membentuk kesabaran. Penghasilan
yang pas-pasan adalah peluang untuk menumbuhkan rasa syukur. Suasana
yang ribut dan gaduh adalah peluang untuk menumbuhkan konsentrasi.
Orang-orang yang tak tahu berterima kasih adalah peluang untuk
menumbuhkan perasaan kasih tanpa syarat. Orang-orang yang menyakiti
Anda adalah peluang untuk menumbuhkan kualitas rela memaafkan.

Sebagai penutup marilah kita renungkan ungkapan berikut ini:
''Aku memohon kekuatan, dan Tuhan memberiku kesulitan-kesulitan untuk
membuatku kuat. Aku memohon kebijaksanaan, dan Tuhan memberiku
masalah untuk diselesaikan. Aku memohon kemakmuran, dan Tuhan
memberiku tubuh dan otak untuk bekerja. Aku memohon keberanian, dan
Tuhan memberiku berbagai bahaya untuk aku atasi. Aku memohon cinta,
dan Tuhan memberiku orang-orang yang bermasalah untuk aku tolong. Aku
mohon berkah dan Tuhan memberiku berbagai kesempatan. Aku tidak
memperoleh apapun yang aku inginkan, tetapi aku mendapatkan apapun
yang aku butuhkan.''

Sumber: Belanja di ''Toko Kebahagiaan'' oleh Arvan Pradiansyah,
Direktur Pengelola Institute for Leadership & Life Management (ILM)
dan Penulis Buku Life is Beautiful

Pada Akhirnya Hanya Keindahan

Setiap perjalanan (termasuk perjalanan hidup) sering diganggu oleh
pertanyaan nakal sekaligus usil : di mana dan bagaimana akhirnya ?
Disebut nakal dan usil karena pertanyaan ini juga yang membuat
manusia buru-buru, tidak sabar, mudah memberi judul gagal. Untuk
kemudian, membiarkan hampir setiap pengalaman keseharian kehilangan
keindahannya. Seperti berjalan ke Bandung lewat Puncak misalnya.
Karena tidak sabar dan buru-buru maka keindahan pemandangan berupa
hijaunya daun teh, hamparan pemandangan yang berujung pada kota
Jakarta sampai dengan hawa dingin, segar dan sejuk, hilang begitu
saja tanpa sempat dinikmati.

Hal yang serupa juga terjadi dengan kehidupan. Setiap langkah yang
buru-buru dan tidak sabar mau segera sampai di tujuan, membuat
terlalu banyak keindahan yang hilang. Seperti memakan sebatang
pisang. Ketika buru-buru tidak saja hadir kemungkinan lidah
tergigit, tetapi juga banyak keindahan yang hilang. Memakan pisang
(demikian juga hidup) tujuannya bukanlah menghabiskan pisangnya
secepat dan sesingkat mungkin. Melainkan menikmati setiap gigitan
dan kunyahan. Setiap gerakan mulut sebenarnya menghadirkan
keindahan.

Dalam hidup juga tersedia terlalu banyak sahabat yang buru-buru.
Ketika lulus sekolah, buru-buru mau bekerja. Setelah bekerja, buru-
buru mau jadi direktur. Setelah jadi direktur buru-buru mau jadi
presiden direktur. Setelah jadi presiden direktur, baru terasa kalau
banyak sekali yang hilang. Tawa canda sahabat ketika masih di bawah
dulu. Ketulusan dan kejujuran orang lain ketika masih jadi orang
bisasa. Teman-teman sekeliling yang datang hanya untuk berteman,
tanpa motif yang kotor-kotor. Pelukan dan ciuman anak istri yang
dulu sering hadir karena waktu bersama yang melimpah. Dan setelah
menoleh seperti ini, baru sadar kalau dalam langkah-langkah hidup
yang buru-buru, banyak sekali yang hilang di belakang. Dan diganti
oleh kekinian dan masa depan yang kering, gersang dan penuh
ketakutan.

Disinari oleh kesadaran seperti inilah, mulai banyak pejalan kaki di
dunia kejernihan berhenti buru-buru. Bukannya berhenti berusaha,
sekali lagi bukan. Melainkan berhenti buru-buru dan berhenti
diganggu oleh pertanyaan usil dan nakal : di mana dan bagaimana
akhirnya ? Kemudian bersahabat serta berpelukan mesra dengan
kekinian yang suci. Berjalan tetap berjalan, melangkah ke tujuan
juga masih, cuman tidak ada keindahan dalam kekinian yang dibiarkan
berlalu tanpa rasa syukur.

Seperti Anda yang sedang membaca tulisan pendek ini. Kesimpulan
akhirnya memang belum ketahuan. Rangkaian makna yang bisa mengendap
ke dalam juga belum tahu. Apa lagi derajat perubahan yang
ditimbulkan karena membaca tulisan ini, masih jauh. Cuman ada suara
tarikan nafas masuk dan hembusan nafas keluar yang berbunyi dan
bertutur tentang sesuatu. Ada kekayaan badan sehat yang perlu
disyukuri. Ada kursi empuk yang menyangga dengan setianya. Dan masih
banyak lagi yang lain.

Bagi sahabat-sahabat yang sudah belajar berpelukan mesra dengan masa
kini yang suci, kemudian ada kekuatan yang mendidik untuk memasuki
wilayah surrender (ikhlas). Berbeda dengan pikiran yang serakah
memilih sukses di atas gagal, benar di atas salah, baik di atas
buruk, keikhlasan ia tidak saja tidak memilih, bahasanya hanya
satu : semuanya sudah, sedang dan akan berjalan sempurna ! Salah
seorang sahabat yang sudah sampai di sini bernama Eckart Tolle.
Dalam karyanya yang berjudul Stillness Speaks ia menulis : sometimes
surrender means giving up trying to understand and becoming
comfortable with not knowing . Ikhlas bisa berarti berhenti berusaha
untuk mengerti. Bahkan ketika tidak tahupun masih merasa aman dan
nyaman.

Terus terang, kesimpulan ini agak menghentak. Terutama pada zaman di
mana manusia baru merasa aman dan nyaman ketika tahu, tiba-tiba ada
yang mengatakan belajar aman dan nyaman ketika tidak tahu. Dan
ternyata ada benarnya. Tidak semua segi hidup bisa diketahui. Tiga
pertanyaan penting kehidupan (dari mana saya datang sebelum lahir,
kenapa ada di sini, kemana pergi setelah mati) menyimpan bagian-
bagian gelap yang tidak bisa diketahui. Ilmu pengetahuan sudah
berjalan demikian jauh, teknologi sudah bekerja demikian keras,
tetapi toh jawaban terhadap ketiga pertanyaan tadi belum bisa
disepakati sepenuhnya.

Indahnya, begitu manusia terbiasa aman dan nyaman dalam
ketidaktahuan, pintu-pintu keindahan seperti terbuka si sana-sini.
Jangankan ketika makan enak, menarik dan menghembuskan nafaspun ada
yang indah. Jangankan ketika berlimpah rezeki, tanpa ada limpahan
rezekipun masih ada yang bersyukur di dalam sini. Jangankan ketika
sehat, tatkala sakitpun masih bisa melihat makna. Jangankan ketika
naik pangkat, tatkala pensiunpun tersisa berlimpah keindahan.

Salah seorang sahabat yang pernah sampai di sini bernama James
Redfield. Dalam sebuah karyanya yang menawan yang berjudul The
Secret of Shambala , ia menulis : focus on the beauty, and begin to
breath in the energy within. Ketika manusia terfokus pada
keindahan, dan menarik energi di dalam melalui nafas, di mana-mana
hanya tersisa keindahan, keindahan dan hanya keindahan.

Dalam lapisan-lapisan keindahan yang lebih dalam, Hazrat Inayat Khan
pernah mengemukakan, bukankah keindahan adalah bahasa Tuhan ? Ketika
topeng keindahan dibuka, bukankah yang tersiasa hanya kesucian ?
Tatkala semuanya hanya keindahan, bukankah ada yang terlahir
kembali? ***

Sumber: Pada Akhirnya Hanya Keindahan oleh Gede Prama
Cinta Laki-laki Biasa
MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang,
hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

"Kenapa?" tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati
hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.
Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara
mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania
menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania
dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

"Kamu pasti bercanda!"

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
"Nania serius!" tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli
memang melamarnya.

"Tidak ada yang lucu," suara Papa tegas, "Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!"

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah
pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

"Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?" Mama mengambil inisiatif
bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, "maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?"

Nania terkesima.

"Kenapa?"

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami.

Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat
bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.
Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan
laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa,
kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian
mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

"Nania Cuma mau Rafli," sahutnya pendek dengan airmata mengambang di
kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan
sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

"Tapi kenapa?"

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

"Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!"

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi
parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana
tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan
melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli.
Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya.
Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli
tampak 'luar biasa'. Nania cuma punya idealisme berdasarkan perasaan
yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan
nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

"Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania."

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak
percaya.

"Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu!"

"Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar!"

"Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!"

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes.

Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan
Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!

Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!

Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.

Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik
mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

"Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan
tidak perlu lelaki untuk menghidupimu."

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua.

Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti.
Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang.

"Tak apa," kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri.

"Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang."

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu.

Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu
bisa menangkap hanya maksud baik.

"Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya?"

Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu
sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran
Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa,
dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji
yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania.

Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin
gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak
pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup
perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan
bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan
dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.

Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi
Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan
perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari
puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama
kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat
Nania menangis.

***

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar.

Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

"Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera
dikeluarkan!"

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke
dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga
perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat
pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

"Baru pembukaan satu."

"Belum ada perubahan, Bu."

"Sudah bertambah sedikit," kata seorang suster empat jam kemudian
menyemaikan harapan.

"Sekarang pembukaan satu lebih sedikit."

Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang
memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua.

Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak
bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

"Masih pembukaan dua, Pak!"

Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

"Bang?"

Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua
kehidupan.

"Dokter?"

"Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar."

Mungkin?

Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang
karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir
lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

"Pendarahan hebat."

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah.

Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana
pecah!

Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali.
Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua
mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda.

Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di
pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

***

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari
kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan
juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam.

Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang
terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang
kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan
penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra.

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan
kehadirannya.

"Nania, bangun, Cinta?"

Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan
berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang.

Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil
menggenggam tangan istrinya mesra.

Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

"Nania, bangun, Cinta?"

Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan.
Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania.

Anak-anak merindukan ibunya.

Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama
tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata,
gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di
wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab.

Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa.
Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun
terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke
sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu
cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur.
Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut.
Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu
melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di
jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas
hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua
berbisik-bisik.

"Baik banget suaminya!"

"Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!"

"Nania beruntung!"

"Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya."

"Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!"

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan
Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin
frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang
di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan
selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah
mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua,
anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati,
kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak
berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski
karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Sumber: Cinta Laki-laki Biasa karya Asma Nadia dari kumpulan cerpen Cinta Laki-laki Biasa, diketik ulang oleh Juli Prasetio Utomo, 28 Juni 2005, dengan pembenahan beberapa ejaan dan tanda baca.