Cari Blog Ini

Jumat, 25 Desember 2009


Pada Akhirnya Hanya Keindahan

Setiap perjalanan (termasuk perjalanan hidup) sering diganggu oleh
pertanyaan nakal sekaligus usil : di mana dan bagaimana akhirnya ?
Disebut nakal dan usil karena pertanyaan ini juga yang membuat
manusia buru-buru, tidak sabar, mudah memberi judul gagal. Untuk
kemudian, membiarkan hampir setiap pengalaman keseharian kehilangan
keindahannya. Seperti berjalan ke Bandung lewat Puncak misalnya.
Karena tidak sabar dan buru-buru maka keindahan pemandangan berupa
hijaunya daun teh, hamparan pemandangan yang berujung pada kota
Jakarta sampai dengan hawa dingin, segar dan sejuk, hilang begitu
saja tanpa sempat dinikmati.

Hal yang serupa juga terjadi dengan kehidupan. Setiap langkah yang
buru-buru dan tidak sabar mau segera sampai di tujuan, membuat
terlalu banyak keindahan yang hilang. Seperti memakan sebatang
pisang. Ketika buru-buru tidak saja hadir kemungkinan lidah
tergigit, tetapi juga banyak keindahan yang hilang. Memakan pisang
(demikian juga hidup) tujuannya bukanlah menghabiskan pisangnya
secepat dan sesingkat mungkin. Melainkan menikmati setiap gigitan
dan kunyahan. Setiap gerakan mulut sebenarnya menghadirkan
keindahan.

Dalam hidup juga tersedia terlalu banyak sahabat yang buru-buru.
Ketika lulus sekolah, buru-buru mau bekerja. Setelah bekerja, buru-
buru mau jadi direktur. Setelah jadi direktur buru-buru mau jadi
presiden direktur. Setelah jadi presiden direktur, baru terasa kalau
banyak sekali yang hilang. Tawa canda sahabat ketika masih di bawah
dulu. Ketulusan dan kejujuran orang lain ketika masih jadi orang
bisasa. Teman-teman sekeliling yang datang hanya untuk berteman,
tanpa motif yang kotor-kotor. Pelukan dan ciuman anak istri yang
dulu sering hadir karena waktu bersama yang melimpah. Dan setelah
menoleh seperti ini, baru sadar kalau dalam langkah-langkah hidup
yang buru-buru, banyak sekali yang hilang di belakang. Dan diganti
oleh kekinian dan masa depan yang kering, gersang dan penuh
ketakutan.

Disinari oleh kesadaran seperti inilah, mulai banyak pejalan kaki di
dunia kejernihan berhenti buru-buru. Bukannya berhenti berusaha,
sekali lagi bukan. Melainkan berhenti buru-buru dan berhenti
diganggu oleh pertanyaan usil dan nakal : di mana dan bagaimana
akhirnya ? Kemudian bersahabat serta berpelukan mesra dengan
kekinian yang suci. Berjalan tetap berjalan, melangkah ke tujuan
juga masih, cuman tidak ada keindahan dalam kekinian yang dibiarkan
berlalu tanpa rasa syukur.

Seperti Anda yang sedang membaca tulisan pendek ini. Kesimpulan
akhirnya memang belum ketahuan. Rangkaian makna yang bisa mengendap
ke dalam juga belum tahu. Apa lagi derajat perubahan yang
ditimbulkan karena membaca tulisan ini, masih jauh. Cuman ada suara
tarikan nafas masuk dan hembusan nafas keluar yang berbunyi dan
bertutur tentang sesuatu. Ada kekayaan badan sehat yang perlu
disyukuri. Ada kursi empuk yang menyangga dengan setianya. Dan masih
banyak lagi yang lain.

Bagi sahabat-sahabat yang sudah belajar berpelukan mesra dengan masa
kini yang suci, kemudian ada kekuatan yang mendidik untuk memasuki
wilayah surrender (ikhlas). Berbeda dengan pikiran yang serakah
memilih sukses di atas gagal, benar di atas salah, baik di atas
buruk, keikhlasan ia tidak saja tidak memilih, bahasanya hanya
satu : semuanya sudah, sedang dan akan berjalan sempurna ! Salah
seorang sahabat yang sudah sampai di sini bernama Eckart Tolle.
Dalam karyanya yang berjudul Stillness Speaks ia menulis : sometimes
surrender means giving up trying to understand and becoming
comfortable with not knowing . Ikhlas bisa berarti berhenti berusaha
untuk mengerti. Bahkan ketika tidak tahupun masih merasa aman dan
nyaman.

Terus terang, kesimpulan ini agak menghentak. Terutama pada zaman di
mana manusia baru merasa aman dan nyaman ketika tahu, tiba-tiba ada
yang mengatakan belajar aman dan nyaman ketika tidak tahu. Dan
ternyata ada benarnya. Tidak semua segi hidup bisa diketahui. Tiga
pertanyaan penting kehidupan (dari mana saya datang sebelum lahir,
kenapa ada di sini, kemana pergi setelah mati) menyimpan bagian-
bagian gelap yang tidak bisa diketahui. Ilmu pengetahuan sudah
berjalan demikian jauh, teknologi sudah bekerja demikian keras,
tetapi toh jawaban terhadap ketiga pertanyaan tadi belum bisa
disepakati sepenuhnya.

Indahnya, begitu manusia terbiasa aman dan nyaman dalam
ketidaktahuan, pintu-pintu keindahan seperti terbuka si sana-sini.
Jangankan ketika makan enak, menarik dan menghembuskan nafaspun ada
yang indah. Jangankan ketika berlimpah rezeki, tanpa ada limpahan
rezekipun masih ada yang bersyukur di dalam sini. Jangankan ketika
sehat, tatkala sakitpun masih bisa melihat makna. Jangankan ketika
naik pangkat, tatkala pensiunpun tersisa berlimpah keindahan.

Salah seorang sahabat yang pernah sampai di sini bernama James
Redfield. Dalam sebuah karyanya yang menawan yang berjudul The
Secret of Shambala , ia menulis : focus on the beauty, and begin to
breath in the energy within. Ketika manusia terfokus pada
keindahan, dan menarik energi di dalam melalui nafas, di mana-mana
hanya tersisa keindahan, keindahan dan hanya keindahan.

Dalam lapisan-lapisan keindahan yang lebih dalam, Hazrat Inayat Khan
pernah mengemukakan, bukankah keindahan adalah bahasa Tuhan ? Ketika
topeng keindahan dibuka, bukankah yang tersiasa hanya kesucian ?
Tatkala semuanya hanya keindahan, bukankah ada yang terlahir
kembali? ***

Sumber: Pada Akhirnya Hanya Keindahan oleh Gede Prama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar